Daily Trend - Mari kita jujur sebentar: banyak gerakan sosial di Indonesia lebih mirip trend ketimbang perjuangan. Lahir bukan dari kajian panjang atau diskusi serius, tapi dari timeline yang ramai, akun anonim yang memprovokasi, dan FOMO yang menggila. Besok ada isu apa? Tinggal tunggu. Akan selalu ada ribuan orang yang buru-buru mengganti foto profil dengan warna pink, hitam, hijau, atau apapun yang sedang naik daun. Seolah-olah satu klik “change profile picture” sudah cukup untuk menyelamatkan bangsa.
Gustave Le Bon pasti akan tertawa puas kalau hidup hari ini. Dalam The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895), dia bilang massa itu irasional, emosional, dan gampang terseret simbol. Cukup kasih simbol sederhana, biarkan massa melihat simbol itu diulang-ulang, dan boom—lahirlah solidaritas palsu. Apa bedanya ribuan foto profil pink dengan kerumunan yang dulu ikut berteriak hanya karena orang di sampingnya berteriak? Tidak ada. Bedanya cuma medium: dulu jalanan, sekarang linimasa.
Masalahnya, kita sering pura-pura tidak sadar. Padahal jelas sekali: banyak dari keramaian digital itu adalah hasil rekayasa. Akun palsu, troll farm, dan bot bekerja siang-malam menciptakan ilusi. Potongan video pejabat dipelintir, dikemas jadi meme, lalu disebarkan ribuan kali. Netizen yang haus drama menyambarnya, menambah caption penuh amarah, lalu merasa dirinya “pejuang rakyat”. Padahal mungkin besok mereka sudah lupa dan kembali sibuk bikin konten “unboxing iPhone terbaru”.
Manuel Castells dalam Networks of Outrage and Hope (2012) bilang jaringan digital bisa jadi alat mobilisasi. Betul, tapi ia juga rapuh, dangkal, dan gampang digiring. Yang marah hari ini bisa tertawa besok. Yang katanya “solidaritas” hari ini, bisa bubar hanya karena ada konser K-pop malam ini.
Saya kadang heran, apakah benar semua yang kita lihat ini organik? Atau jangan-jangan memang ada yang sengaja mendesain kerusuhan digital untuk jadi kerusuhan fisik? Dari linimasa ke jalan raya, dari “add your story” ke “lempar batu”. Semua diawali dari rasa takut ketinggalan tren—FOMO—yang bahkan lebih kuat dari rasa lapar.
Hannah Arendt dalam On Revolution bilang revolusi bisa lahir dari idealisme, tapi juga gampang disusupi kepentingan tersembunyi. Di sini, saya kira, idealisme sudah lama mati. Yang tersisa hanyalah “kebersamaan palsu” yang dibentuk oleh algoritma dan dipelihara oleh akun-akun anonim.
Dan pada akhirnya, seperti kata Thomas Hobbes, tanpa keteraturan kita jatuh pada bellum omnium contra omnes—perang semua melawan semua. Bedanya, perang hari ini dimulai dari linimasa. Dari ribuan foto profil pink yang katanya solidaritas, sampai akhirnya jalanan memerah oleh gas air mata. Ironis, bukan? Bangsa sebesar ini bisa diadu domba hanya dengan fitur “add your story”.
Artikel ini telah tayang di
Daily Trend